Artikel

Cerpen - Lari
  Diterbitkan oleh Muhammad Ghiyats Ristiana on 2 years ago

“Nak, hati-hati jatuh!” ucapku sambil mengejar anakku.

 

Dia hanya tersenyum dan tertawa melihatku mengejarnya. Dia terus berjalan hingga akhirnya aku menangkapnya.

 

“Hap, kena hayo mau kemana kamu nak” aku tertawa sambil terengah-engah setelah mengejarnya. Anakku masih tersenyum dan tertawa seperti kegirangan karena ayahnya telah menangkap dan memeluknya. Anakku memang sedang senang berjalan dan berlari, satu tahun satu minggu telah ia lewati, bangga dengan pencapaiannya selama ini. Dia sudah bisa merangkak, duduk, berdiri, berjalan, bahkan berlari.

 

“Aba …” anakku memanggil seakan ia ingin mengutarakan keinginannya. Aba adalah panggilanku dan Umma adalah panggilan istriku. Kami menanamkan itu karena kami ingin panggilan yang berbeda dengan orangtua lainnya.

 

“Iya nak?” jawabku.

 

“Aba ba ba ba na ba na ba ba” ia berbicara sesuatu dan berharap ayahnya mengerti perkataannya. Memang anakku belum jelas berbicaranya, dokter mengatakan bahwa ia mengalami keterlambatan pertumbuhan. Ya, ia adalah anak spesial yang Allah titipkan padaku dan istriku. Namun, aku dan istriku sangat bangga, setelah melewati satu tahun ini tumbuh kembangnya semakin membaik. Saat ini, ia sedang berkembang dengan pesat, sudah bisa berlari di usia satu tahun satu minggu ini.

 

Anakku lahir dalam keadaan yang berbeda dengan bayi lainnya. Lahir tanpa tangisan, dua kali aku melihatnya dihisap menggunakan vacuum, jantungnya sempat berhenti. Lemas, bingung, cemas, gelisah, ketika tahu bahwa ia harus menjalani perawatan di rumah sakit dikarenakan proses persalinan yang sudah ditakdirkan tidak berjalan sesuai dengan harapan. Satu bulan lamanya anakku harus menjalani perawatan di rumah sakit.

Anakku didiagnosa epilepsi, penyakit kejang yang dapat muncul kapanpun. Cerebral Palsy, dimana anakku akan terjadi keterlambatan tumbuh kembang. Serta mikrosefali, perkembangan otak lambat yang menyebabkan lingkar kepala anakku lebih kecil dari anak normal seusianya.

 

“Ah sudahlah, Allah sudah berkehendak seperti ini, aku harus ikhlas” Ucapku dalam hati.

 

Hari demi hari ku habiskan waktu dengan berdoa dan mengunjungi rumah sakit untuk melihat anakku. Hingga akhirnya ia bisa keluar dari rumah sakit dan tinggal di rumah yang telah ku sediakan. Ketika ia pulang, masih ada selang yang tertanam menembus kerongkongan hingga ke lambungnya agar ia bisa mendapatkan asupan ASI yang cukup. Sulit menelan adalah penyebabnya.

 

Setiap hari aku dan istriku selalu memberinya ASI sesuai yang diinstruksikan dengan diiringi nyanyian yang entah liriknya datang darimana. Puluhan, tidak bahkan ratusan lagu mungkin kami sudah ciptakan. Seolah-olah aku dan istriku sudah menjadi musisi terkenal dengan segudang lagu. Tak lupa juga terapi wicara kami lakukan. Hingga suatu saat, kami bersama orangtua memantapkan niat untuk melepas selang yang tertancap di tenggorokannya.

 

“Bismillah, nak cepat sembuh ya.” Kataku. Kami sekeluarga yakin bahwa anak kami bisa menelan dengan baik. Terapi wicara masih berlanjut demi perkembangan menelanya. Pada akhirnya, anakku sekarang sudah bisa menelan dengan baik dan bisa merespon ayah dan ibunya, Alhamdulillah. Perlahan perkembangan anakku semakin terlihat.

 

Anakku mengajariku bagaimana caranya bersyukur dengan hal-hal kecil. Ia berhasil mengajari aku dan istriku, seperti ketika ia tersenyum, mengangkat kepala ketika tengkurap, marah ketika aku dan istriku tidak menghiraukannya, dan masih banyak lagi.

 

Tersenyum, mungkin mudah bagi anak lain melakukannya ketika pertama kali dilahirkan. Namun, berbeda dengan anakku, ia baru bisa tersenyum ketika umur 2 bulan, itupun dalam keadaan mata tertutup. Senyum merekah dengan mata terbuka bisa ia tunjukkan di umur 7 bulan. Kala itu, aku dan istriku sangat senang sekali, benar-benar bersyukur melihat anakku bisa berkembang seperti itu, walaupun senyumannya masih disertai dengan sedikit kejang, tapi aku bangga dan aku bahagia melihatnya tersenyum lebar.

 

Mengangkat kepala ketika tengkurap juga menjadikanku sangat bersyukur akan nikmatNya. Aku dan istriku sangat antusias ketika melihat ia mengangkat kepalanya dengan susah payah. “Ayo aa semangat! Aa! Aa! Aa!” sorak aku dan istriku berharap ia mengangkat kepalanya lebih lama dan lebih tinggi.

 

Hah, setahun sudah ia telah berjuang di dunia, menghadapi segala keterbatasan yang ia miliki, berkembang sedikit demi sedikit, dan akhirnya hingga seperti sekarang. Di hari ulang tahunnya yang pertama, aku dan istriku merayakannya secara kecil-kecilan di sebuah kafe bernuansa pantai. Meskipun itu tidak dibilang merayakan, hanya ingin membuat kenangan bersama dengan pejuang cilikku selama satu tahun ini. 

 

Aku dan istriku selalu berdoa: Ya Allah hilangkan kejangnya sebelum usia dua tahun, bisa menyusul tumbuh kembang anak lainnya, dan selalu tersenyum di setiap harinya. Perjuangan yang panjang memang, lika liku yang telah dilalui selama setahun terakhir ini sungguh membekas di pikiranku. “Alhamdulillah” ucapku.

 

“Aba! Aba! Aba!” istriku berteriak histeris mendatangiku ketika aku sedang memeluk anakku.

 

Aku terbangun, kemudian langsung melihat istriku yang teriak histeris. “Aa aba.. Aa” istriku menangis. Aku langsung melihatnya, wajahnya pucat, biru, seperti ada lebam. Aku coba memegang tangan dan kakinya, dingin, sangat dingin.

 

“Astagfirullah, Aa! Aa!” aku berteriak memanggil anakku dengan keras.

 

Bingung, panik, sedih, semuanya bercampur dalam pikiran dan hatiku. Segera aku nyalakan mobil dan membawa anakku ke rumah sakit bersama istriku. Aku lajukan mobilku dengan kencang, tak peduli polisi tiduryang menghalangi, aku hanya berfokus pada anakku. “Ya Allah, bagaimana kondisinya?” ucapku dalam hati.

 

Ketika tiba di rumah sakit, istriku segera mengangkat anakku, menuju ruang UGD. Tirai ditutup dan dimulailah pemeriksaan. Aku dan istriku berdoa, memohon kepada Allah agar ia tidak apa-apa.

 

Tirai terbuka, salah satu tenaga medis menuju ke arah kami.

 

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun” ucapnya.

“Bapak, ibu, anaknya sudah tidak ada, kami tidak bisa berbuat apa-apa, turut berduka pa, bu.”

 

Seketika aku dan istriku menangis sekencang-kencangnya, histeris mengetahui anakku sudah diambil kembali oleh pemiliknya. Lemas, terbayang sosok anakku yang sedang lucu-lucunya. Perkembangan yang kini begitu pesat, berat badan yang sedang meningkat, membuatku tak percaya bahwa anakku sudah kembali padaNya. Padahal, sebelumnya ia sehat-sehat saja, tidak ada sakit dan gejala apapun.

 

“Ya Allah nak, astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah.”

 

Aku melihat istriku menangis histeris memegang jenazah anaknya yang sudah terbujur kaku, pucat, dan suhu tubuhnya dingin. Aku dan istriku segera kembali ke rumah. Biasanya diperjalanan ia tertawa melihat pepohonan dan tiang listrik seolah-olah berjalan di kaca jendela.

 

“Waktu Umma balikin Aa dia udah pucat ba, dia posisinya tengkurap dan mungkin jalan nafasnya terhambat” istriku bercerita.

 

Kaget, sedih, sakit hati, aku terus bertanya “kenapa jadi begini ya Allah? Aa sebelumnya sehat, sedang berkembang pesat, berat badan sedang meningkat. Astagfirullah, kenapa Aa ya Allah?”.

 

Tiba di rumahku segera ku hubungi orangtua, keluarga, dan sahabat-sahabatku. Kakek dan neneknya langsung berteriak, kaget, dan mereka langsung menuju rumahku untuk melihat cucunya yang ruhnya sudah tidak ada. Sesampainya di rumahku, anakku dibawa ke rumahnya dan akan dimandikan, dikafankan, disholatkan, dan dikuburkan di dekat kakek dan neneknya.

 

Aku melihat orang-orang berdatangan dan membantuku untuk menjalani proses pemakaman. Tentu saja aku mengajukan diri untuk mengurusi segalanya hingga selesai. Aku ingin menjadikan momen ini adalah momen terakhirku bersama anakku.

 

Ku mandikan anakku dengan perlahan, sesuai dengan anjuran yang sudah ditetapkan. Ku kafankan anakku dengan perlahan, lapisan pertama, lapisan kedua, lapisan ketiga, dan akhirnya diikat menggunakan tiga tali, di kepala, pinggang, dan kakinya.

 

Setelah memandikan dan mengkafankan, aku segera mengambil air wudhu dan bersiap di posisi untuk melaksanakan sholat jenazah. Dalam hatiku “Surga untukmu nak, tunggu dan jemput Aba dan Umma nanti ya”.

 

“Allaahummaj’alhu farothon wa dzukhron liwaa li daihi wa syafii’an mujaa ban” ucap semua orang yang mensholatkan.

“Ya Allah, jadikanlah kematian anak ini sebagai pahala yang didahulukan, simpanan bagi kedua orangtuanya dan pemberi syafaat yang dikabulkan doanya”.

 

Selesai mensholatkan, aku dan semua orang yang hadir langsung menuju tempat pemakaman untuk menguburkan jenazah anakku. Perlahan aku berjalan dari tempat disholatkannya anakku menuju makamnya. Sambil mengenang semua kenangan yang pernah kami buat.

 

Aku turun ke liang lahatnya, menidurkannya, menghadapkan anakku ke kiblat dan menutupnya dengan tanah. “Kita tak akan bertemu lagi nak, kau sudah sehat di sana” kataku dalam hati.

 

Setelah dipikir, mimpi tadi mungkin ia ingin berpamitan pada Aba dan Ummanya. Ia sudah selesai berjuangnya, ia sudah mengenyam gelar sebagai pejuang cilik. Hanya saja aku tidak mengerti bahasanya. Mimpi itu benar-benar terasa nyata. Dan aku baru sadar, bahwa anakku masih berjuang untuk bisa tengkurap sendiri dan duduk dengan tegak. Tapi sekarang, ia sudah bisa berlari, makan sendiri, dan sudah mempunyai banyak teman di sana.

 

Sakit, menyesal, sedih, ah sudahlah, aku percaya bahwa rencanaNya lebih baik daripada rencanaku.

 

Aku dan istriku hanya bisa berkata “Alhamdulillah, Ia sudah sehat, doa-doa yang kami panjatkan sudah terkabul semua, baik-baik ya nak, tunggu kami di sana”. Mulai sekarang, aku dan istriku harus berlari menggapai ridhoNya agar bisa bertemu denganmu nak.


Berlangganan di Blog CLS IKIP Siliwangi
Arsip
  • July 2022 (1)
  • April 2022 (1)
  • March 2022 (3)
  • February 2022 (1)
  • January 2022 (44)
  • December 2021 (1)
  • August 2021 (68)
  • July 2021 (140)