Artikel

Indonesia Menjadi Negara Paling Berbahaya di Dunia
  Diterbitkan oleh Hendra Husnussalam on 2 years ago

Mungkin anda merasa miris bila membaca judul di atas. Namun, Badan Kesehatan Dunia, WHO menilai bahwa penanganan Covid di negara kita selama Juli 2021 ini memang buruk. Hal ini terbukti oleh angka kematian yang terus meningkat di tengah pemberlakuan PPKM Level 4. Secara kumulatif, CNN Indonesia melaporkan bahwa di bulan Juli ini kasus kematian mencapai 32.061 kasus. Coba bandingkan dengan bulan Juni yang "hanya" mencapai 7.913 kasus. Sementara, Tribunnews.com memberitakan bahwa angkanya untuk bulan yang sama adalah 30.168, di mana kasus tertinggi terjadi pada 27 Juli, yaitu sebanyak 2.069 kasus. Jelas, angka - angka tersebut tidak bisa lagi ditutup-tutupi oleh konferensi pers apapun, sekalipun oleh pihak Istana, karena dunia internasional sudah memutuskan bahwa Indonesia adalah negara gagal dalam menangani Pandemi Covid-19 ini.   

Akibat kegagalan itu, para WNA (Warga Negara Asing) berbondong - bondong pergi meninggalkan Indonesia. Dengan kata lain, terjadi eksodus besar - besaran. Menurut CNBC Indonesia, selama bulan Juli 2021, Jepang adalah peringkat pertama dalam eksodus tersebut, yaitu sebanyak 2387 warga yang dievakuasi. Lalu, disusul oleh Cina sebanyak 2056, Korea Selatan sebanyak 1537, dan Amerika Serikat sebanyak 1280. Jelas ini merupakan kerugian bagi kita karena negara - negara tersebut adalah negara yang paling banyak melakukan investasi modal di Indonesia. 

Kalau kita cermati, alasan mereka pergi sebetulnya bukan sekedar takut terpapar Covid, namun juga melihat eskalasi politik di Indonesia yang setiap saat bisa menimbulkan guncangan. Saat ini sedang terjadi keresahan publik di mana pun. Berbagai opini terus bermunculan berkaitan dengan keselamatan dan eksistensi bangsa ini, baik di masa sekarang maupun masa depan. Sementara pihak Istana selalu reaktif dengan mengklaim bahwa mereka yang menyebarkan opini - opini tersebut adalah "barisan sakit hati" yang ingin mengganti kekuasaan. Fakta - fakta sosiologis yang sering diabaikan ini menunjukkan bahwa pihak Istana sudah kehilangan kemampuan untuk memahami potensi konflik dan Presiden Jokowi sudah tidak mampu lagi menganalisis kondisi politik saat ini. Partai - partai koalisi pendukung pun sudah mulai terpecah.  

Berdasarkan kondisi politik tersebut, para WNA menilai Indonesia sedang ada dalam bahaya. Sebetulnya kalau untuk penanganan Covid saja, kita bisa meminta bantuan negara lain. Namun, para investor dan negara lain (semisal Amerika atau Australia), yang secara strategis memiliki kaitan dengan stabilitas politik Indonesia, melihat kondisi itu lebih dari sekedar urusan Covid, tapi tentang instabilitas politik yang setiap saat bisa pecah dan menjadi konflik terbuka (social unrest).   

Bila kita cermati lagi, para tokoh oposisi dan LSM mengetahui bahwa pihak Istana sedang mengalami turbulensi, namun hal itu selalu dibantah oleh para buzzer yang mengatakan seolah - olah negeri ini baik - baik saja. Ironisnya, sanggahan buzzer ini kontradiktif dengan fakta para WNA yang berbondong - bondong melakukan eksodus besar - besaran. Jadi, semakin Istana dan buzzer ini melakukan "denial," semakin jelas pula ada problem besar yang terjadi. 

Tidak mengherankan pula bila seorang epidemiolog FKM UI, Pandu Riono, mengatakan bahwa Indonesia memerlukan waktu sampai 5 tahun agar bisa pulih kembali seperti biasa. Di saat negara lain sudah memasuki "New Normal" dalam artian yang sesungguhnya, maka kita adalah negara paling akhir yang pulih dari pandemi ini. Itupun dengan catatan bila tidak ditemukan mutasi virus "origin" dari Indonesia. 

Namun, yang lebih berbahaya adalah bila mutasi "origin" itu berasal dari kebijakan yang salah kaprah. Seperti kita ketahui bahwa untuk menangani Covid selama satu setengah tahun ini, pemerintah berulang kali membuat kebijakan yang tidak didasarkan pada Undang - Undang. Selain pemberian vaksin berkualitas rendah, hal itu dapat pula terlihat dari berbagai istilah yang kita dengar, mulai dari PSBB, PPKM Makro/Mikro, lalu yang terakhir adalah PPKM level 1 - 4. 

Semua kebijakan ini dibuat hanya untuk menghindari Undang - Undang Karantina yang menghendaki agar semua kebutuhan hidup warga masyarakat, bahkan sampai pada ternaknya sekalipun, dijamin oleh negara. Maka, ketika Lockdown diberlakukan, mereka akan merasa aman dan tenang tinggal di rumah masing - masing, sehingga tidak berkeliaran di luar. 

Dari sini kita dapat memahami alasan mengapa Lockdown tidak kunjung diberlakukan. Karena bila itu diberlakukan, maka negara harus menanggung biaya semua kebutuhan hidup warga masyarakat. Saya pribadi meyakini negara memiliki dana untuk menanggung biaya kebutuhan itu. Sementara di sisi lain, dengan adanya pemberlakuan PSBB, PPKM Makro/Mikro atau level 1-4, maka negara tidak berkewajiban untuk membiayai kebutuhan warga masyarakatnya. Namun buktinya? Seperti kita ketahui bersama, para WNA ramai - ramai melakukan eksodus besar - besaran dan eskalasi politik terlihat semakin meningkat. Sementara itu, kita juga bisa melihat, baik dari televisi atau media sosial lainnya, banyak warga yang sudah mengibarkan bendera putih di tempatnya masing - masing. 

Jadi, kuncinya satu, laksanakan Undang - Undang Kekarantinaan!    

Sumber: 

1. https://www.youtube.com/watch?v=b08PVwzsxnw (Rocky Gerung Official)

2. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210729175943-20-673976/juli-2021-bulan-dengan-kasus-kematian-covid-19-terbanyak

3. https://www.tribunnews.com/nasional/2021/07/29/juli-jadi-pemecah-rekor-angka-kematian-tertinggi-covid-19-di-indonesia

4. https://www.cnbcindonesia.com/news/20210716005207-4-261312/fenomena-baru-ramai-ramai-warga-asing-eksodus-dari-ri


Berlangganan di Blog CLS IKIP Siliwangi
Arsip
  • July 2022 (1)
  • April 2022 (1)
  • March 2022 (3)
  • February 2022 (1)
  • January 2022 (44)
  • December 2021 (1)
  • August 2021 (68)
  • July 2021 (140)