Artikel

Optimalisasi Kehadiran Guru secara Emosional dalam Pembelajaran Daring Bahasa Inggris Ramah Anak
  Diterbitkan oleh Sri Supiah Cahyati on 2 years ago

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Surat Edaran   Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah (BDR) dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Hal ini memperkuat Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19).  Dalam Surat Edaran ini disebutkan bahwa tujuan dari pelaksanaan BDR adalah memastikan pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat Covid-19, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk Covid-19, mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 di satuan pendidikan dan memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik, dan orang tua. Kemendikbud menghimbau agar kegiatan BDR dilaksanakan dengan memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik, guru memperhatikan pemberian materi Life Skill dan Karakter, serta.mengedapankan pola interaksi dan komunikasi yang positif.

Tahun ajaran baru 2020/2021 menjadi momentum pengelola sekolah dan orangtua untuk membantu siswa beradaptasi memasuki era "kenormalan baru" atau “new normal”. Meskipun beberapa sekolah mulai melaksanakan pembelajaran dengan tatap muka langsung, namun sebagian besar masih melaksanakan pembelajaran secara daring (dalam jaringan/online). Saat ini banyak guru yang mulai terbiasa memanfaatkan berbagai aplikasi untuk pembelajaran, seperti Google Classroom, Edmodo, Quizzes, Zoom, Webex, atau sejenisnya. Yang terpenting dari belajar daring ini bukan hanya pada penggunaan teknologi. Jangan sampai penggunaan teknologi hanya menggantikan tempat ceramah guru dari ruang kelas berpindah tempat melalui teknologi virtual. Banyak unsur yang lebih penting dalam menyiapkan proses belajar sekalipun dalam jarak jauh. Yang terutama adalah upaya menyediakan pengalaman belajar yang mendorong siswa lebih banyak mengalami (berbuat atau mengamati), melakukan interaksi, komunikasi, dan ada umpan balik dalam mengkonstruksi pengetahuan sehingga siswa dapat belajar secara bermakna. Belajar bermakna, mengutip teori Ausubel (1963), berarti materi pembelajaran dikaitkan dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Di dalam pembelajaran, siswa mendapatkan materi-materi yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-harinya.

Terkait dengan pembelajaran Bahasa Inggris, sudah jadi pendapat umum bahwa kemampuan berbahasa Inggris diperlukan untuk menguasai ilmu pengetahuan, memiliki pergaulan yang luas, serta peluang karir yang bagus.  Hal ini membuat semua orang dari berbagai kalangan termotivasi untuk menguasai bahasa Inggris. Pentingnya berbahasa Inggris membuat banyak sekolah mengajarkan Bahasa Inggris di tingkat Taman Kanak Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Meskipun di dalam Kurikulum 2013 pelajaran Bahasa Inggris tidak diwajibkan, namun beberapa sekolah memasukkan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib. Bahkan, beberapa sekolah menggunakan bahasa Inggris pada saat menyampaikan materi mata pelajaran lain, seperti IPA dan Matematika. Namun, kedudukan bahasa Inggris di Indonesia adalah sebagai bahasa asing, maka tantangan bagi guru dan siswa adalah mengoptimalkan penggunaan bahasa Inggris dalam interaksi pada saat pembelajarannya karena begitu siswa keluar dari lingkungan pembelajaran, bahasa Indonesia/bahasa daerahlah yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari.

Berkenaan dengan BDR yang membuat guru dan siswa menggunakan aplikasi dalam pembelajaran, ada beberapa permasalahan yang dihadapi. Survei yang dilakukan oleh UNICEF pada 18-29 Mei 2020 dan 5-8 Juni 2020 di 34 provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa sebanyak 66 persen dari 60 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan di 34 provinsi mengaku tidak nyaman belajar di perguruan tinggi karena kurangnya bimbingan dari guru. Guru cenderung hanya memberi tugas dan interaksi dilakukan melalui aplikasi dengan waktu yang terbatas. Komunikasi guru lebih didominasi dengan menanyakan apakah tugas telah dikirim oleh siswa ke WhatsApp atau Google kelas atau Padlet. Dengan kata lain, siswa/orangtua merasa interaksi dengan siswa tidak sehangat saat pembelajaran tatap muka. Kondisi ini diperparah saat guru sedikit sekali memberi komentar, apalagi berkomunikasi secara langsung pada anak. Hal ini tentu membatasi perkembangan kognitif dan kreatifitas anak.  Seperti  kita pahami, belajar bahasa asing perlu pajanan langsung dari guru, dan anak akan menirukannya sbg role model.

Hasil penelitian terdahulu mengenai analisis kebutuhan juga mengungkap fakta bahwa para guru membutuhkan ilmu mengenai teori, pendekatan, teknik, metode, dan media pengajaran Bahasa Inggris bagi anak. Bukan hanya itu, mereka juga membutuhkan informasi mengenai cara mengelola pembelajaran di kelas (classroom management) serta penilaian yang ramah anak (child friendly assessment) (Cahyati, 2018; Cahyati, Parmawati, Atmawidjaja, 2019). Didasari oleh hasil penelitian sebelumnya dan terkait dengan kondisi pembelajaran daring di masa Pandemi Covid-19 saat ini, maka tulisan ini mengulas lebih lanjut mengenai cara mengoptimalkan “kehadiran guru” secara emosional dalam pembelajaran Daring Bahasa Inggris. Sejauh ini belum ada penelitian terkait hai ini. Beberapa penelitian terdahulu lebih banyak membahas mengenai pembelajaran bahasa Inggris untuk anak di dalam kelas dengan fokus pada pendekatan, metode, teknik, maupun strategi pembelajaran. Tulisan ini diharapkan mampu menginspirasi guru untuk mengembangkan pembelajaran yang komprehensif, merancang model pembelajaran daring yang dapat menjadi bagian dari kenormalan baru dalam belajar, mengoptimalkan penggunaan Classroom Language dalam pembelajaran daring Bahasa Inggris, membekali guru dengan metode/teknik pembelajaran yang lebih menarik, memberikan pengalaman belajar yang berkualitas, bermakna, dan efektif bagi anak.

Karakteristik Pembelajar Anak

Slattery dan Willis (2005; Pinter, 2006) mendefinisikan anak dalam 2 kategori, yaitu: very young learner (anak usia dini) dengan usia dibawah 7 tahun dan young learner (anak) dengan rentang usia sekitar 7-12 tahun. Sementara itu, Scott and Ytreberg (2000) mengatakan bahwa anak dibagi menjadi dua kelompok: kelompok pertama adalah anak berusia 5-7 tahun, dan kelompok kedua adalah anak berusia 8-10 tahun. Dari beberapa pendapat ini dapat disimpulkan bahwa very young learner adalah anak usia dini, biasanya sekolah di tingkat TK/PAUD dan young learner adalah anak usia SD.

Anak TK dan SD memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak usia SMP/SMA/orang dewasa. Karakteristik ini berhubungan dengan cara berpikir mereka, sikap, sifat, dan juga perasaan Mereka juga memiliki gaya belajar tersendiri. Dalam hal ini penulis menggabungkan karakteristik anak dalam 2 (dua) kategori tersebut di atas (very young learner dan young learner) karena pada prinsipnya karakteristik mereka hampir sama, sama-sama pertama kali belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Lebih lanjut, Harmer (2007; Slattery and Willis, 2005; Pinter, 2006) menjelaskan karakteristik anak sebagai berikut:

a.    Anak selalu menunjukkan antusisme. Mereka selalu penasaran dengan apa yang ada di sekitar mereka.

b.    Anak belajar secara tidak langsung. Mereka belajar dari apa yang mereka dengar dan lihat. Anak sudah mampu merespon makna-makna yang umum (holistic approach to language), meskipun mereka belum memahami arti dari setiap kata yang diucapkan/didengar.

c.    Anak lebih dapat memahami sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dipegang (here and now principle), namun belum dapat memahami konsep abstrak, seperti tata bahasa, dsb.

d.   Anak memiliki daya konsentrasi yang rendah (short attention span). Mereka mudah bosan.

e.    Anak senang berbicara, terutama mengenai hal-hal yang ada di dalam dunia mereka (egocentrism). Mereka akan merespon dengan cepat ketika kita menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan diri mereka.

f.     Anak baru belajar bahasa, belum lancar membaca dan menulis, bahkan dalam bahasa pertama

g.    Anak menyukai fantasi, imajinasi, dan gerakan.

Masih terkait dengan karakteristik anak dan perkembangan kognitif anak, Scott (dalam Jazuly & Indrayani, 2018; Musthafa, 2010; Brown, 2011) menambahkan bahwa anak-anak di TK atau SD pada umumnya belajar dengan cara kegiatan fisik (learning by doing). Artinya, mereka belajar melalui pengalaman langsung dan melalui manipulasi objek di lingkungan. Harmer (2007) juga menyatakan bahwa pemahaman anak tidak berasal dari penjelasan yang diterima, namun dari semua hal yang melibatkan panca indranya. Oleh karena itu, seorang guru Bahasa Inggris untuk anak harus menghindari penjelasan tata bahasa dan hal-hal abstrak lainnya. Selain itu, materi pembelajarannya juga harus disesuaikan dengan konteks karakteristik anak.

Karakteristik tersebut di atas akan mempengaruhi cara mengajarkan bahasa Inggris pada anak. Seperti yang diungkap oleh Lennerberg (dalam Ashadi, 2014): “elementary school and kindergarten children are in a ‘critical period’, which is an important period (sensitive period) to be able to easily and quickly master the language.  This happens before the child enters puberty”. Oleh karena itu guru perlu memahaminya agar pembembelajaran bahasa yang efektif dapat tercapai. Lebih jauh mengenai kelancaran dan akurasi dalam pembelajaran bahasa, teori Krashen mengklaim bahwa cara terbaik untuk membantu siswa berkembang adalah dengan memberikan mereka sejumlah masukan yang dapat dipahami. Musthafa (2010); Mubar (2015) juga mememaparkan beberapa syarat dalam pembelajaran bahasa Inggris yang efektif kepada anak, sebagai berikut:

1. Bahasa Inggris harus selalu digunakan dalam interaksi dengan siswa agar anak-anak memiliki exposures (pajanan) yang relatif banyak terhadap bahasa Inggris.

2. Lingkungan berbahasa Inggris yang kondusif harus diciptakan di sekitar kelas.

3. Guru EYL harus menggunakan teknik pembelajaran berbasis aktivitas seperti TPR, permainan, & proyek.

4. Guru harus menggunakan berbagai teknik dan waktu yang singkat untuk menjaga minat anak-anak dalam mengikuti pelajaran.

5. Guru harus fokus pada bahasa Inggris fungsional untuk pengembangan kosa kata dan kebutuhan komunikatif siswa.

6. Guru harus sering mengulang untuk memastikan penguasaan kosakata bahasa Inggris.

7. Guru harus memberikan contoh secara rutin yang berguna untuk penguasaan bahasa.

8. Guru harus memiliki penguasaan bahasa Inggris yang baik & memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai contoh bagi siswanya.

Dengan kata lain, guru adalah sumber motivasi bagi anak dan model yang ditiru anak, guru perlu memahami metode/teknik, pengetahuan psikologi anak, serta kemampuan mengelola proses belajar mengajar bahasa Inggris dengan baik. Nantinya, guru bisa lebih kompeten dan mampu mengembangkan kemampuan anak dalam berbahasa Inggris.

Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak secara Daring

Hanya Covid-19 yang dengan tiba-tiba dapat menghentikan sekolah dan memaksa guru dan siswa di seluruh dunia untuk mengubah tatanan dan belajar dengan memanfaatkan teknologi. Saat ini banyak sekali bermunculan berbagai platform yang dulunya susah dilaksanakan, sekarang mau tidak mau harus dipraktikkan, seperti: LMS (Learning Management System), LCMS (Learning Content Management System), VLE (Virtual Learning Environment), PLE (Personal Learning Environment), MLE (Managed Learning Environment). Adapun berbagai aplikasi yang digunakan, antara lain: Zoom, Google Classroom, Padlet, Kahoot, Whatsap, Moodle, dll. Adanya teknologi dalam aplikasi ini mampu mengefisienkan dan mengefektifkan kegiatan pembelajaran.

Terkait dengan hal ini, guru perlu mengevaluasi kompetensi masing-masing agar jangan sampai ada ketimpangan antara kompetensi guru di bidang teknologi dan pedagogi. Akan tidak efektif jika guru unggul di bidang teknologi namun kurang di bidang pedagogi, demikian sebaliknya karena pembelajaran tetap harus fokus pada pembelajaran siswa. Guru perlu memaknai sistem pembelajaran yang serta merta berubah ini. Tugas guru tidak hanya memberi tugas. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengatur bahwa guru tidak harus mengejar ketuntasan/target sesuai kurikulum.

Pembelajaran daring perlu kolaborasi kuat antara guru dan siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran harus tetap memampukan siswa. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang mampu memberi dampak pada kompetensi siswa. Oleh karena itu poin penting saat mengajar di masa Pandemi adalah mendahulukan pedagogi sebelum teknologi (pedagogy before technology). Tidaklah bijak jika guru berlomba-lomba menggunakan berbagai aplikasi dalam pembelajaran hanya karena ingin tampak lebih keren. Pada dasarnya pembelajaran daring bukan sekedar menggunakan teknologi dan bukan sekedar memberi tugas kepada siswa. Apalagi jika siswa diberi tugas yang harus segera dikumpulkan namun tidak ada feedback dari guru sehingga siswa tidak tahu apakah pekerjaannya sudah benar atau salah. Pembelajaran online bukan berarti guru mengirimkan materi lalu mengirimkan tugas, mengirimkan materi lalu mengirimkan tugas. begitu seterusnya. Yang memprihatinkan, setelah tugas dikumpulkan, tidak ada feedback dari guru. Pembelajaran daring harus tetap membelajarkan siswa, materi yang diajarkan memberi dampak pada siswa (Chodijah, 2020).

Demikian pula pembelajaran Bahasa Inggris di tingkat TK dan SD. Dalam praktik, pembelajaran secara daring banyak yang lebih menekankan pada pemberian tugas/latihan yang harus dikerjakan siswa dengan dibantu orangtua. Padahal prinsip dasar pendidikan adalah sebuah proses untuk meningkatkan kualitas diri manusia baik secara kognitif, afektif, psikomotorik, maupun spiritual sehingga kelak dapat berperan secara maksimal dalam membangun peradaban dan membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik bagi manusia dan seluruh alam semesta. Adapun proses pembelajaran adalah proses sosial dan individual yang membutuhkan konteks sosial dimana pembelajaran berlangsung dan memberikan dampak terhadap pembelajaran setiap anak.

Dalam pembelajaran secara tatap muka (luring), guru dan siswa dapat dengan lebih mudah berinteraksi dan menanyakan hal-hal yang terkait dengan pembelajaran.Hal ini relatif lebih sulit dirasakan saat pembelajaran dilaksanakan secara daring. Walau pembelajaran dilakukan secara daring, namun membangun konteks sosial, komunikasi dengan siswa tetap penting. Guru tetap perlu menyapa, menjelaskan seolah di depan kelas, dan memastikan pembelajaran memberi dampak pada setiap anak. Oleh karena itu membangun hubungan yang hangat dengan siswa sangatlah penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Guru tidak hanya menanyakan apakah tugas sudah dikirim siswa ke WA atau Google classroom atau padletnya.

Penelitian terdahulu mengungkap kurangnya kompetensi guru dalam mengajar bahasa Inggris untuk anak. Damayanti (2008) menyatakan: The teachers are lack of knowledge in the part of the teachers does not only occur in pronunciation. Teaching methods suitable for young learners are often neglected. In teaching certain vocabularies, animal for example, the teachers often merely give the students lists of vocabulary and their equivalences in Bahasa Indonesia. Or, English songs, games, and rhymes are not used as the vehicle to learn English but as the end. Namun, ia juga menambahkan jika guru memiliki kompetensi dan kreatif dalam menggunakan media pembelajaran, maka siswapun akan berhasil dalam 4 (empat) keterampilan berbahasa Inggris (Listening, Speaking, Reading, dan Writing).

Hasil penelitian yang dilakukan Penulis terhadap beberapa guru TK dan SD di wilayah Cimahi dalam kurun waktu 2 (dua) bulan, yaitu Juli-Agustus 2020 menunjukkan bahwa guru lebih menyukai menggunakan Zoom dan WhatsApp dalam proses belajar-mengajar secara daring, serta Grammar Translation dan Audio Lingual sebagai metode pengajaran. Sedangkan teknik yang dilakukan oleh guru menunjukkan bahwa guru di Taman Kanak-kanak menggunakan berbagai kegiatan dan media yang bervariasi saat mengajar. Menyanyikan beberapa lagu berbahasa Inggris, mengekspresikan gayanya, dan  menggunakan  beberapa media dalam mengajar. Sedangkan guru di SD lebih banyak menggunakan buku wajib bahasa Inggris sebagai media saat mengajar dan lebih menekankan pada pemberian tugas/latihan selama proses belajar-mengajar secara online.

Hasil observasi juga mengungkapkan bahwa di setiap kelas selalu ada siswa yang tidak dapat duduk tenang menyimak pembelajaran dan cenderung memiliki “perilaku mencari perhatian” dengan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan topik pelajaran, seperti membuat wajah konyol, mengubah posisi laptop/handphone, dll. Menyikapi hal ini guru hanya tersenyum, memanggil nama, dan meminta mereka untuk fokus pada pelajaran. Dalam hal ini, Schneiderova seperti dikutip dalam Garton & Copland (2019) mengemukakan bahwa hal itu dapat ditangani dengan memberi perhatian lebih pada siswa, tersenyum, memantau  kemajuan mereka. Tetapi jika sikap siswa membuat pembelajaran menjadi tidak kondusif, maka guru perlu mengajukan pertanyaan untuk menarik perhatian mereka, memperingatkan mereka atau mengatur pertemuan dengan orang tua mereka. Guru perlu menyesuaikan pemnyampaian materi pelajaran, dengan tetap memperhatikan karakteristik anak sebagai pembelajar yang selalu aktif, sulit untuk duduk diam dalam kurun waktu lama.

Terkait dengan penilaian hasil belajar, Damayanti (2017) menyampaikan bahwa penilaian berdasarkan tes tulis ini tidak tepat jika diterapkan pada anak karena tidak setiap anak mampu membaca dan menulis dalam bahasa Inggris Sebagian besar anak masih dalam tahap belajar membaca dan menulis dalam bahasa pertama (Bahasa Indonesia). Apabila anak juga diwajibkan untuk mampu membaca dan menulis dalam bahasa Inggris maka  hal ini akan merusak kemampuan penguasaan bahasa mereka. Akibatnya, anak tidak sempurna dalam menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Guru perlu menerapkan Child friendly assessment (penilaian ramah anak) agar penilaian kemampuan siswa benar-benar sesuai dengan karakteristik siswa. Pinter (2017)  memberi contoh bentuk penilaian  ramah anak, antara lain: Portfolio assessment, Structured assessment, activities/tasks, Projects, Self-assessment, Peer-assessment, Learner-developed assessment tasks, Take-home tasks, Observation, and Conferencing. Lebih lanjut, Damayanti (2017) menjelaskan: Portofolio bahasa adalah koleksi sampel pekerjaan yang dihasilkan oleh anak dalam jangka waktu tertentu. Sampel ini dapat berupa: Pekerjaan tertulis, Gambar, Proyek, Catatan buku yang telah dibaca, Hasil tes, Catatan self-assessment, dan Komentar orang tua dan guru.

Banyak guru merasa kesulitan dalam menyampaikan pembelajaran secara daring karena guru juga harus mengontrol perilaku siswa (Schneiderová dalam Garton & Copland, 2019). Guru bahasa Inggris untuk anak harus mempertimbangkan penggunaan berbagai strategi dalam pembelajarn. Sebaiknya hindari kegiatan yang memakan waktu lebih dari 15 menit untuk satu aktivitas karena anak-anak akan cenderung mudah bosan. Untuk mengajar siswa di TK maka guru perlu merancang satu kegiatan antara 5 dan 10 menit, berikutnya berganti dengan kegiatan lainnya. Sedangkan siswa SD dapat melakukan satu kegiatan dengan rentang waktu sekitar 15 menit, lalu variasikan dengan aktifitas lainnya. Lebih lanjut, Scott & Ytreberg (2000) menyarankan keseimbangan antara kegiatan dalam mengajar, seperti: memvariasikan perbedaan 4 keterampilan berbahasa: Listening (menyimak), Speaking (berbicara), Reading (membaca), Writing (menulis). Guru juga dapat memvariasikan tugas. Seperti dipahami bahwa anak memiliki karakter”learning by doing”, maka mereka akan lebih mudah memahami segala sesuatu apabila melibatkan panca indra. Dalam penyampaian materi pelajaran secara daring, guru perlu menggunakan visualisasi yang berwarna cerah, mainan, boneka atau benda sejenisnya, sambil mempraktikkan Total Physical Response (TPR) ataupun Total Physical Response Storytelling (TPRS). Sementara mengacu pada teori Vygotsky, belajar adalah aktivitas integral dari diri siswa dan bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan rekan yang lebih mampu. Oleh karena itu, komunikasi dalam pembelajaran adalah pengetahuan tentang membangun dialog, di mana penggunaan bahasa dan pembelajaran bahasa dapat terjadi secara bersamaan. Penggunaan classroom language merupakan mediasi pembelajaran bahasa yang melibatkan aktivitas kognitif dan sosial.

Selanjutnya data hasil wawancara menunjukkan persepsi guru dan siswa/orang tua. Guru menyatakan bahwa pengajaran online itu menantang, mereka harus mempersiapkan diri untuk mengajar lebih baik daripada pengajaran offline. Mereka juga menyatakan masih kesulitan dalam melakukan interaksi yang intens dengan siswa. Namun demikian, mereka berusaha untuk melakukan yang terbaik, dengan selalu memotivasi siswa karena mereka mudah kehilangan fokus saat belajar. Mengenai kejenuhan siswa saat mengikuti kelas online, sudah seyogyanya  guru mempertimbangkan karakteristik siswa, yaitu rentang perhatian yang pendek. Oleh karena itu, kegiatan yang bervariasi selama proses belajar mengajar dan menggunakan media yang sesuai dengan topik pembelajaran sangat dianjurkan.

 

Kehadiran Guru secara Emosional dalam Pembelajaran Daring Bahasa Inggris

Sama seperti pembelajaran konvensional di ruang kelas, menumbuhkan antusiasme siswa dalam belajar secara daring tetaplah penting. Langkah pertama untuk ini sederhana: membangun kedekatan emosional dengan siswa. Tentu saja, duduk di depan komputer bukan kondisi yang ideal. Guru tidak dapat menyalami siswa, menepuk pundaknya saat memuji/menasehati, ataupun memainkan permainan yang biasa dilakukan di dalam kelas yang dapat mengembangkan karakter siswa. Tidak mengherankan jika banyak guru yang gagal membangun interaksi yang kondusif ketika mengajar secara daring. Akhirnya guru terjebak pada pembelajaran daring yang lebih menekankan pada pemberian tugas/latihan yang harus dikerjakan siswa dengan dibantu orangtua, sedangkan komunikasi hangat antara guru dengan siswa sangatlah kurang. Hal ini banyak dikeluhkan oleh siswa dan orangtua siswa. Demikian pula yang terjadi dalam pembelajaran Bahasa Inggris di tingkat TK dan SD. Kurangnya “kehadiran guru” secara emosional dapat membatasi perkembangan kognitif dan kreatifitas anak. Seperti kita pahami, belajar bahasa asing perlu exposures (pajanan) langsung dari guru, bahasa target perlu digunakan sebagai classroom language sehingga anak akan terbiasa dan akan menirukannya sebagai role model.  Lebih lanjut Chodijah (2020) menyampaikan bahwa guru harus selalu membangun motivasi siswa agar berminat belajar, memimpin proses belajar yang melibatkan seluruh siswa, dan membangun ketrampilan berfikir kritis dan karakter positif. Pada dasarnya, untuk pembelajaran daring di TK dan SD yang penting adalah menanamkan perasaan pada siswa bahwa ada kehadiran guru, dan guru memperhatikan serta memotivasi siswa. Inilah poin penting yang harus ada dan dirasakan oleh siswa. Guru seperti ini memiliki hubungan yang bersahabat dengan siswa-siswanya. Hingga pada akhirnya siswa semakin termotivasi dan berpartisipasi aktif saat pembelajaran daring.

Lebih lanjut, Wiseman (2020) menyarankan beberapa hal yang perlu dicermati: get things ready, get learners using gesture, use routines, and make use of what’s available. Hal senada juga disampaikan oleh Bridge.edu (2020) bahwa untuk menjalin komunikasi dengan siswa saat pembelajaran daring maka guru harus: smile and be energetic!, add fun  icebreakers and other activities, learn about the students,  let your students get to know you back, praise your students as much as possible, show emphaty, tailor your lessons, help students outside the classroom. . Beberapa penggunaan Classroom Language yang dapat dilakukan antara lain saat Pre-teaching (Great them personally, try to name everyone at some points, ask how they’re feeling, conditioning, be positive), Whilst-teaching (explaining the lesson, evaluating, use lots of praise), Post teaching (concluding, engaging). Dengan kata lain, guru perlu mempersiapkan segala sesuatunya sebelum “tampil” di depan siswa, jangan sampai guru mencari-cari sesuatu saat sedang mengajar daring. Guru perlu menyesuaikan materi pembelajaran agar sesuai dengann kondisi daring dan dapat memanfaatkan segala yang ada di sekitarnya sebagai obyek dalam pembelajaran, termasuk membantu siswa di luar jam pembelajaran. Senyum, sapa, salam, gerakan dan ekspresi wajah antusias yang selalu terjalin saat pembelajaran akan menambah erat hubungan guru dan siswa sehingga terjalin interaksi yang positif. Jangan pelit pujian. Sekecil apapun  kemajuan  yang dilakukan siswa, guru harus selalu memujinya

Bagi siswa yang biasanya mengikuti pembelajaran daring dengan didampingi orang tua, kegiatannya harus menyenangkan, melibatkan anggota keluarga, menyesuaikan kegiatan dengan minat anak, dan tidak monoton. Adapun permainan yang dapat dilakukan dalam pembelajaran, antara lain:

-          "Mirror me": Mintalah siswa untuk mengikuti instruksi yang diberikan guru menggunakan mainan siswa. Contoh: The ball is next to the car, put the ball between the car and the bear.

-          Play “Hide and seek”: Where’s the bear? Is it in the box? Is it under the box? Is it under the table? Dll Pastikan rentang kamera dapat disesuaikan dan siswa dapat bergabung dalam aktivitas ini.

-          “Sow and tell”: Siswa pasti akan menyukainya. Minta siswa untuk menunjukkan binatang peliharaan, mainan, dll kesukaannya.

-          “Act-out the song”: Beberapa lagu yang sudah akrab di telinga anak contohnya: Head, shoulders, knees, and toes, If you’re happy and you know it, The wheel on the bus, The hockey pockey, dll.

-           “Odd one out”: Guru dapat menunjukkan gambar/mendikte dan siswa memilih salah satu yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut.

-          Keterampilan: Origami, kincir angin, kipas, dll.

-          "Simon says": Guru memberi instruksi dengan didahului kata Simon says dan siswa melakukan instruksinya. Jika tidak ada kata Simon says maka siswa tidak boleh melakukannya.

-          Story telling/bercerita. Cerita dapat mendorong imajinasi, kosakata baru, pembentukan karakter, menjelajahi budaya lain dan dunia. Mendengarkan dan berpartisipasi dalam cerita dapat mengembangkan berbagai keterampilan linguistik, psikologis, kognitif, sosial, dan budaya.

Penggunaan Bahasa Indonesia masih dapat dilakukan jika siswa dirasa belum paham instruksi/penjelasan yang dimaksud. Penggunaan Classroom language akan membuat pembelajaran Bahasa Inggris lebih efektif bagi siswa karena anak adalah peniru ulung. Apa yang sering didengar akan lebih mudah diingat dan dipahami siswa. Dengan kata lain, komunikasi yang baik dengan siswa adalah kunci untuk menciptakan suasana kelas daring yang positif dan mendukung. Hasilnya, proses pembelajaran meningkat karena siswa merasa nyaman di kelas. Hingga akhirnya kita dapat mewujudkan himbauan Kemendikbud agar kegiatan BDR dilaksanakan dengan memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik, guru memperhatikan pemberian materi Life Skill dan karakter, serta.mengedapankan pola interaksi dan komunikasi yang positif.

Untuk mengatasi kondisi pem


Berlangganan di Blog CLS IKIP Siliwangi
Arsip
  • July 2022 (1)
  • April 2022 (1)
  • March 2022 (3)
  • February 2022 (1)
  • January 2022 (44)
  • December 2021 (1)
  • August 2021 (68)
  • July 2021 (140)