Artikel

Perspektif Perbedaan Budaya
  Diterbitkan oleh Ecep Supriatna on 2 years ago

Dalam Perspektif perbedaan budaya, kita akan mengeksplorasi bagaimana kerangka konseptual kita atau kerangka asumsi kita melihat perbedaan budaya di sekitar kita yang pada akhirnya akan mempengaruhi cara kita bertindak dalam situasi-situasi tertentu. Berbicara tentang perbedaan budaya adalah berbicara tentang rentang sejarah yang panjang dimana pada awalnya konsep tentang multikulturalisme muncul sebagai bentuk penentangan terhadap konsep monokultural yang merujuk kepada budaya tunggal yang telah diyakini oleh masyarakat dan berlaku sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Sejarah multikulturalisme adalah sejarah rakyat majemuk Amerika Kanada dan Australia adalah beberapa dari sekian negara yang sangat serius mengembangkan konsep dan teori-teori multikulturalisme ini dan juga pendidikan multikultur ini dikarenakan mereka adalah masyarakat ini imigran dan tidak bisa menutup peluang bagi imigran yang lain untuk masuk dan bergabung didalamnya akan tetapi negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang berhasil mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaan nya dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka sebelumnya atau kultur nenek moyangnya. Dalam sejarahnya multikulturalisme diawali dengan teori Melting Pot yang diwacanakan oleh J Hector seorang imigran asal normandia di dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru yaitu budaya Amerika, kemudian ketika komposisi etnik Amerika semakin beragam dan budaya mereka semakin majemuk maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yang populer dengan nama salad bowl sebagai sebuah teori alternatif yang dipopulerkan oleh Horace Kallen berbeda dengan teori melting pot yang melemahkan budaya asal dalam membangun budaya baru yang dibangun di dalam keragaman teori saladbowl atau Teori gado-gado ini tidak menghilangkan budaya asal dan masing-masing budaya memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika sebagai sebuah budaya nasional. Dalam konteks Amerika multikulturalisme merupakan sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa dengan menghargai dan menghormati hak-hak sipil masyarakat termasuk hak-hak kelompok minoritas, kemudian dalam konteks Indonesia sendiri multikulturalisme ini terbentuk sebagai akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam. Kita tarik konsep multikulturalisme ini ke dalam proses bimbingan dan konseling pertanyaan mendasarnya adalah mengapa anda sebagai calon Guru bimbingan dan konseling atau calon konselor harus memiliki perspektif yang clear terkait dengan multikulturalisme ini. Nah untuk menjawab pertanyaan ini tentu saja kita harus berangkat dari tujuan bimbingan dan konseling itu sendiri dimana tujuan dari bimbingan dan konseling adalah untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya dan untuk mencapai perkembangan yang optimal serta kemampuan pribadi yang dimilikinya. Dalam proses tersebut dapat terjadi jika ada hubungan individu dimana individu itu dapat mengungkapkan kebutuhan-kebutuhannya, motivasi, dan potensi-potensi yang unik dari setiap individu sebagai suatu masalah yang memerlukan bantuan dari seorang guru BK atau konselor yang profesional. Mengingat individu yang dibantu berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, maka disinilah diperlukan pemahaman yang mendalam tentang proses konseling itu sendiri maupun tentang konseli yang dibantu. Dalam prosesnya konseling sangat rawan untuk terjadinya bias bias budaya sehingga akan mengakibatkan proses konseling itu sendiri tidak berjalan efektif, agar proses konseling berjalan efektif maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya serta mempunyai pemahaman dan dapat mengapresiasi diversitas budaya dan memiliki  keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural.


Berlangganan di Blog CLS IKIP Siliwangi
Arsip
  • July 2022 (1)
  • April 2022 (1)
  • March 2022 (3)
  • February 2022 (1)
  • January 2022 (44)
  • December 2021 (1)
  • August 2021 (68)
  • July 2021 (140)