Artikel

PROBLEMATIKA SASTRA BAGI ANAK YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS KETERLAMBATAN BERBICARA
  Diterbitkan oleh Komala on 2 years ago

A.    PENGANTAR

Setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pengajaran, hal ini sesuai dengan amanat dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1. Selain itu juga dalam UU no.4 tahun 1997 Pasal 5 menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat atau berkebutuhan khusus memiliki hak dan penghidupan. Sehingga pembelajaran bukan hanya untuk anak normal untuk anak berkebutuhan khusus pun memiliki hak yang sama. Karena ada anak  yang terlahir sempurna, tetapi ada pula yang lahir dengan keterbatasan baik dari segi fisik maupun mental. Bagi anak-anak yang lahir memiliki kelainan membutuhkan terapi/stimulasi yang tepat  agar mereka dapat tumbuh dan berkembangan dengan baik. Begitupun dalam pembelajaran bahasa untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus membutuhkan stimulasi yang tepat. Hal ini karena ada beberapa anak yang memiliki  kelainan-kelainan seperti dalam berbicara (scpeech delay), penglihatan (tunanetra), anak berkesulitan belajar, tunarungu pada umumnya memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa.

Menurut UNESCO  anak berkebutuhan khusus secara luas diartikan sebagai anak yang secara signifikan berbeda dibandingkan anak normal seusianya, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Wiboyo & Anjar, 2015:24). Hal serupa juga dikemukakan oleh Cahyaningrum (2012: 2) yang menyatakan bahwa bila seorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu, tetapi kelainan atau penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, maka anak tersebut tidak termasuk anak dengan kebutuhan khusus. Sehubungan dengan itu anak yang berkebutuhan khusus juga memiliki hak yang sama untuk ikut dalam pendidikan.

Anak berkebutuhan khusus  adalah anak dengan karakteristik khusus  yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental,  emosi atau fisik. Anak yang berkebutuhan khusus memerlukan bantuan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensinya mereka (Heward, 2015:5).  Karena anak-anak yang berkebutuhan khusus memiliki perbedaan dengan anak-anak secara umum atau rata-rata anak seusianya. Anak dikatakan khusus biasanya  ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya. Sehingga anak tersebut memerlukan penanganan khusus sehubungan dengan gangguan perkembangan dan kelainan yang dialaminya. Mereka yang digolongkan pada anak yang berkebutuhan khusus seperti: fisik/motorik, kognitif, bahasa dan bicara, pendengaran, penglihatan (anak dengan gangguan penglihatan/Tuna Netra) dan Sosial emosi. Begitu banyak anak yang memiliki gangguan pertumbuhan dan perkembangan tetapi yang akan dibahas pada artikel ini yaitu anak yang memiliki gangguan/hambatan dalam berbicara (speech delay). Yang mana anak-anak yang  gangguan pertumbuhan dan perkembangan perlu penanganan dan pelayanan secara individual.  Untuk anak-anak yang memiliki hambatan dalam berbicara (speech delay),  berfikir/tidak bisa fokus  di atas membutuhkan metode, pelayanan dan peralatan yang khusus agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Karena anak-anak tersebut  akan belajar dengan kecepatan yang berbeda dan juga dengan cara yang berbeda. Meskipun mereka memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak secara umum, mereka harus mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan, begitupun dalam pembelajaran bahasa dan pembelajaran sastra anak.  

  Keterlambatan bicara yang tidak memenuhi syarat didiagnosa gangguan berbicara sering dijumpai. Salah satunya keterlambatan bicara tanpa disertai adanya perkembangan fungsi-fungsi yang berkaitan erat dengan susunan saraf pusat yang sering disebut sebagai disfungsi neurologis. Keterlambatan bicara ini dapat digolongkan sebagai hambatan berbicara. Hambatan (barrier) adalah suatu kesukarakan atau halangan seseorang untuk mencapai suatu tujuan (Chaplin, 2006: 52). Dalam tugas perkembangan anak, hambatan dapat diartikan sebagai suatu kesukaran atau halangan anak dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya.  Berdasarkan definisi hambatan perkembangan yang telah dipaparkan, hambatan berbicara dapat diartikan sebagai suatu kesukaran atau halangan anak dalam berbicara sesuai usia perkembangan yang dimilikinya.

Berbeda dengan hambatan, gangguan berbicara lebih bersifat mendetail sesuai yang ditetapkan dalam PPDGJ mengenai ketentuan gangguan berbicara. Hambatan berbicara lebih bersifat fleksibel sesuai dengan kendala anak sukar atau terhalang untuk berbicara sesuai usia perkembangan bicaranya. Tidak seperti gangguan berbicara, hambatan berbicara memiliki banyak faktor yang mempengaruhinya salah satunya factor lingkungan.  Semakin dini mendeteksi keterlambatan bicara, maka semakin baik kemungkinan pemulihan hambatan tersebut. Deteksi dini keterlambatan bicara harus dilakukan oleh semua individu yang terlibat dalam penanganan anak ini.  Kegiatan deteksi dini ini melibatkan orang tua, keluarga, dokter kandungan yang merawat sejak kehamilan dan dokter anak yang merawat anak tersebut. Dalam deteksi dini tersebut harus bisa mengenali apakah keterlambatan bicara anak merupakan sesuatu yang fungsional atau yang nonfungsional. Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang sering dialami oleh sebagian anak.  Keterlambatan bicara golongan ini biasanya ringan dan hanya merupakan ketidakmatangan fungsi bicara pada anak. Pada usia tertentu terutama setelah usia dua tahun, anak tersebut akan membaik. Tetapi bila keterlambatan bicara tersebut bukan karena proses fungsional (non fungsional) maka gangguan tersebut harus lebih diwaspadai karena bukan sesuatu yang ringan, maka harus cepat dilakukan stimulasi dan intervensi dapat dilakukan pada anak tersebut.  Menurut Hurlock (1978: 194-195), definisi keterlambatan bicara pada anak yaitu apabila tingkat perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata. Dalam mempengaruhi keterlambatan dalam hal berbicara ada banyak faktor. Diantaranya seperti yang telah dikemukakan oleh Campbell dkk (2003), yang mencoba mengungkap faktor resiko untuk keterlambatan bicara pada anak dengan ras yang tidak diketahui atau campuran pada anak usia 3 tahun. Dari hasil penelitiannya mengungkap bahwasanya yang mempunyai rasio terbesar dalam mempengaruhi dari keterlambatan bicara adalah mengenai jenis kelamin laki-laki, rendahnya pendidikan ibu (ibu yang tidak dapat menyelesaikan SMA), dan juga dampak dari permasalahan genetik yang dibawa ibu.

Berdasarkan paparan di atas dan beberapa penelitian terdahulu mengenai pembelajaran sastra pada anak yang berkebutuhan khusus yaitu yang  memiliki kendala/permasalahan dalam berbicara khususnya keterlambatan dalam berbicara (speech delay), penulis tertarik menganalisis bagaimana problematika sastra bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus yaitu bagi anak-anak yang mengalami keterlambatan berbicara (speech delay.

2. PEMBAHASAN

Akhir-akhir ini jumlah anak yang mengalami gangguan atau kebutuhan khusus mengalami peningkatan seperti keterlambatan berbicara. Karena kemampuan berbicara sangat berpengaruh terhadap komunikasi. Komunikasi akan berjalan dengan baik apabila penerima dan pengirim bahasa dapat menguasai bahasanya. Menurut Andrews (2013:2), bahasa manusia berfokus pada bahasa sebagai sistem yang dinamis, hierarkis, dan dipelajari relatif-otonom dari tanda-tanda paradigmatik dan sintagmatik yang menghasilkan makna yang menandakan dan berkomunikasi melalui komunitas ujaran dan komunitas praktik kepada diri sendiri dan orang lain sepanjang siklus kehidupan. Definisi di atas mengandung prinsip-prinsip bahasa yang penting sebagai fenomena budaya serta gejala neurologis. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran sastra membutuhkan suatu kemampuan anak seperti kemampuan berbicara, menyimak, membaca dan merespon apa yang ada dalam karya sastra. Untuk anak-anak berkebutuhan khusus (children  with special needs) walaupun tidak selalu mengalami problema dalam pembelajaran tetapi ketika mereka berinteraksi dengan teman-teman sebaya dalam pendidikan regular perlu mendapat perhatian khusus dari guru untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pembelajaran pada anak yang memiliki keterlambatan dalam berbicara (speech delay)  memerlukan perhatian khusus dari gurunya. Anak dikatakan terlambat berbicara, apabila pada usia kemampuan produksi suara dan berkomunikasi di bawah rata-rata anak seusianya. Di mana aspek berbicara merupakan salah satu aspek perkembangan seorang anak yang dimulai sejak lahir. Kemampuan anak untuk berkomunikasi dimulai dengan reaksinya terhadap bunyi atau suara ibu bapaknya,  Bahkan di usia 2 bulan anak sudah menunjukkan senyum sosial pada semua orang yang berinteraksi dengannya. Diusia 18 bulan anak sudah mampu memahami dan mengeluarkan sekitar 20 kosa kata yang bermakna. Sedangkan di usia 2 tahun sudah mampu mengucapkan kalimat yang terdiri dari 2 kata, misalnya “mama minum”, “aku mau”. Bila anak tidak mengalami mengalami itu bisa dikategorikan anak tersebut mengalami keterlambatan berbicara (speech delayed). Gangguan bicara (speech delay) adalah suatu keterlambatan dalam berbahasa ataupun berbicara. Gangguan berbahasa merupakan keterlambatan dalam sektor bahasa yang dialami oleh  anak (Soetjiningsih, 1995).

Sehubungan dengan gangguan bicara di atas bagaimana apabila kita ingin mengajak anak untuk belajar sastra sementara anak mengalami gangguan bicaranya sejak kecil maka terlebih dahulu kita harus dapat memahami bagaimana pengajaran sastra pada anak tersebut. Pengajaran sastra sebaiknya dikenalkan dari sejak dini yaitu dari usia 0 – 6 tahun. Pada usia tersebut, anak-anak sangat mudah menerima berbagai hal. Akan lebih baik apabila pada masa-masa usia tersebut diberikan beberapa pelajaran yang dapat
memperkaya intelektua
l.  Salah satu pelajaran yang penting diajarkan kepada anak-anak
dalam rangka memperkaya intelektual
seperti pelajaran sastra. Dengan belajar sastra, termasuk sastra anak, seseorang dapat menjadi lebih baik karena sastra diciptakan tidak semata-semata untuk menghibur, namun lebih dari itu, sastra hadir untuk memberikan pencerahan moral budi pekerti luhur. Sastra anak menjadi sangat penting diajarkan sejak dini karena di dalamnya tersaji berbagai realitas kehidupan dunia anak dalam wujud bahasa yang indah. Sastra anak dapat menyajikan dua kebutuhan anak-anak yaitu hiburan dan pendidikan. Dengan belajar sastra, anak-anak dapat merasakan hiburan lewat cerita maupun untaian kata dalam puisi anak.  Sehingga dengan belajar sastra, anak-anak secara tidak langsung dididik untuk meneladani berbagai nasihat, ajaran,  maupun akhlak. Sastra anak dapat dijadikan sebagaimedia pendidikan yang menghibur, dan media hiburan yang mendidik (Didipu, 2012:4).

Menurut Sarumpaet (2010:3) sastra anak adalah karya sastra yang khas (dunia) anak, dibaca anak, serta  pada dasarnya dibimbing orang dewasa. Sementara menurut Ampera (2010:10) mengemukakan bahwa sastra anak adalah buku-buku bacaan atau karya sastra yang sengaja ditulis sebagai bacaan anak, isinya sesuai dengan minat dan pengalaman anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosi dan intelektual anak. Dari pengertian di atas sastra anak pada hakikatnya adalah  sastra yag diciptakan oleh siapa saja, anak-anak bahkan orang dewasa, yang utamanya adalah dasar penciptaannya disesuaikan dengan kapasitas intelektual dan psikologi usia anak. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra anak disesuaikan dengan tingkat penguasaan kosakata dan struktur kalimat anak-anak,  substansi atau kandungan karya sastra anak lebih banyak memuat berbagai seluk beluk kehidupan anak-anak, seperti persahabatan, cinta kepada orang tua, maupun keindahan alam yang  diciptakan untuk dibaca oleh anak-anak.

Artikel ini lebih khusus lagi yaitu sastra anak di sekolah dasar kelas rendah yang diarahkan terutama pada proses pemberian pengalaman bersastra. Siswa diajak untuk mengenal bentuk dan isi sebuah karya sastra. melalui kegiatan mengenal dan mencipta sastra sehingga tumbuh pemahaman dan sikap menghargai cipta sastra sebagai suatu karya yang indah dan bermakna. Karya sastra anak yang merupakan jenis bacaan cerita anak-anak merupakan bentuk karya sastra yang ditulis untuk konsumsi anak-anak. Sebagaimana karya sastra pada umumnya, bacaan sastra anak-anak merupakan hasil kreasi imajinatif yang mampu menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman keindahan tertentu. Pengungkapan dalam bahasa sastra berbeda dengan pengungkapan selain sastra karena dalam bahasa sastra terkandung unsur dan tujuan keindahan. Bahasa sastra lebih bernuansa keindahan daripada kepraktisan. Menurut Lukens (2013:9) sastra memberi kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah memberi hiburan yang menyenangkan, menampilkan cerita yang menarik dan mengajar pembaca untuk berpantasi baik untuk anak-anak maupun dewasa.

Anak usia sekolah dasar pada jenjang kelas rendah sebagai pembaca sastra diharapkan mampu menghubungkan dunia pengalamannya dengan dunia rekaan yang tergambarkan dalam cerita. Hubungan interaktif antara pengalaman dengan pengetahuan kebahasaan merupakan kunci awal dalam memahami dan menikmati bacaan cerita anak-anak. Bacaan tersebut ditinjau dari cara penulisan, bahasa, dan isinya juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan readiness anak.

Setiap anak yang normal atau mengalami pertumbuhan yang wajar memperoleh sesuatu bahasa, yaitu bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama kehidupannya, kecuali ada gangguan pada anak tersebut (Marsis & Anisa, 2018:37). Oleh sebab itu, tahap bicara seorang anak yang normal dapat dilihat dari usia anak. Akan tetapi untuk anak yang mengalami keunggulan atau kekurangan/keterlambatan  merupakan salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Sehingga muncul beberapa problematika yang dihadapi oleh anak apalagi pada anak kelas bawah dengan kemampuan membaca permulaan yang kurang karena beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh anak. Hal ini membutuhkan perhatian khusus baik dari orang tua, guru maupun para praktisi pendidikan. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan kemampuan anak baik secara fisik, mental maupun moral yang lebih (upper) maupun yang dibawah (lower) seorang guru harus mampu menstimulasi, memotivasi dan mendesain pembelajaran khususnya kemampuan berbahasa melalui pembelajaram sastra anak baik melalui membaca, bercerita maupun menyimak langsung suatu pagelaran sastra (drama).

Secara konseptual, sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan sastra orang dewasa (adult literacy). Keduanya sama berada pada wilayah sastra yang meliputi kehidupan dengan segala perasaan, pikiran dan wawasan kehidupan. Yang membedakannya hanyalah dalam hal fokus pemberian gambaran kehidupan yang bermakna bagi anak yang diurai dalam karya tersebut.

Sastra (dalam sastra anak-anak) adalah bentuk kreasi imajinatif dengan paparan bahasa tertentu yang menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman tertentu, dan mengandung nilai estetika tertentu yang bisa dibuat oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Apakah sastra anak merupakan sastra yang ditulis oleh orang dewasa yang ditujukan untuk anak-anak atau sastra yang ditulis anak-anak untuk kalangan mereka sendiri. Huck (1987) mengemukakan bahwa siapapun yang menulis sastra anak-anak tidak perlu dipermasalahkan asalkan dalam penggambarannya ditekankan pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi mereka. Sastra anak-anak adalah sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak melalui pandangan anak-anak (Norton,1993). Tetapi dalam kenyataannya, nilai kebermaknaan bagi anak-anak itu terkadang dilihat dan diukur dari perspektif orang dewasa.

Membahas problematika pembelajaran karya sastra pada anak berkebutuhan khusus anak yang mengalami keterlambatan berbicara  yaitu memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak tanpa prasarat termasuk anak yang memiliki keterbatasan dalam berbicara  untuk mempelajari sastra dari sejak kecil. Melalui   sebuah karya sastra,  anak-anak diharapkan menerima stimulasi, terapi dan rangsangan kepada anak-anak dengan cara, pendekatan bertahap sehingga secara bertahap pula menjanjikan ada pemahaman sesuatu bagi anak-anak yaitu nilai yang terkandung di dalam karya sastra yang dikemas secara intrinsik maupun ekstrinsik. Karena itu, kedudukan sastra anak menjadi penting bagi perkembangan anak. Sebuah karya dengan penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh anak akan efektif dan  membuahkan pengalaman estetik bagi anak. Hal ini dapat dilakukan melalui visual, audio maupun audio visual. Contohnya melalui cerita-cerita sebelum tidur, bernyanyi sebelum tidur, dan permainan-permainan yang menarik dan menyenangkan anak melalui tontonan audio visual pagelaran drama anak.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu mengenai pembelajaran pada anak yang berkebutuhan khusus yaitu yang  memiliki kendala/permasalahan dalam berbicara khususnya keterlambatan dalam berbicara (speech delay) penulis tertarik menganalisis bagaimana problematika sastra bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus yaitu bagi anak-anak yang mengalami keterlambatan berbicara (speech delay), problematika apa yang dihadapi oleh guru dalam pembelajaran sastra anak yang speech delay dan bagaimana solusi untuk pembelajaran sastra pada anak yang mengalami keterlambatan berbicara (speech delay).  Bagaimana problematika Sastra anak bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus yang mengalami keterlambatan dalam berbicara? Untuk menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu kita harus dapat menjawab  apa yang dihadapi oleh guru dalam pembelajaran sastra anak yang mengalami keterlambatan berbicara. Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan jurnal yang telah penulis baca adalah sebagai berikut: Ada beberapa hal yang dihadapi oleh guru dalam pembelajaran sastra anak yang mengalami keterlambatan berbicara  yaitu problem materi, problem perilaku, problem ketercapaian tujuan pembelajaran, problem konsentrasi dan problem motivasi. Problem-problem pembelajaran tersebut yaitu pertama problem bahan bacaan, cara menyampaikan, media yang dipakai dalam pembelajaran sastra kepada siswa yang mengalami keterlambatan berbicara tersebut tentang apa yang telah disampaikan olehnya. Kedua problem prilaku, kita bisa melihat kendala ini dari gejala dan karakteristik yang dimiliki oleh siswa tersebut. Ketiga problem ketercapaian tujuan pembelajaran, guru bahasa Indonesia belum bisa memenuhi target yang sudah tertera dalam standart kompetensi dan kompetensi dasar.

Pelaksanaan pembelajaran  sastra pada anak yang berkebutuhan khusus keterlambatan berbicara  menggunakan  bahasa yang imajinatif agar dapat menghasilkan responsi-responsi intelektual dan emosional dimana anak akan merasakan dan menghayati peran tokoh dan konflik yang ditimbulkannya, juga membantu mereka menghayati keindahan, keajaiban, kelucuan, kesedihan dan ketidakadilan. Anak-anak juga akan ditantang untuk memimpikan berbagai mimpi serta merenungkan dan mengemukakan berbagai masalah mengenai dirinya sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya.

Beberapa problematika sastra pada anak berkebutuhan khusus yang mengalami keterlambatan berbicara. Seperti yang telah kita ketahui dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran sastra anak harus memahami prinsip-prinsip pembelajaran bahasa.  Karena prinsip-prinsip bahasa yang penting sebagai fenomena budaya serta gejala neurologis. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran sastra membutuhkan suatu kemampuan anak seperti kemampuan berbicara, menyimak, membaca dan merespon apa yang ada dalam karya sastra. Problematika pengembangan sastra anak yang berkebutuhan khusus merupakan problema yang dilematis karena selain kita harus mampu mendeteksi kemampuan anak yang umum/norma juga kemampuan yang dimiliki anak dengan keterbatasan (lower) atau untuk anak yang memiliki kemampuan istimewa (upper).

Kita juga harus mampu mengenalkan sastra anak yang memiliki beberapa problem seperti  problem materi (bahan bacaan), problem prilaku, problem ketercapaian tujuan pembelajaran, problem konsentrasi dan problem motivasi. Problem-problem pembelajaran tersebut meliputi pertama problem bahan bacaan, cara menyampaikan, media yang dipakai dalam  sastra kepada siswa anak yang mengalami keterlambatan berbicara  tentang apa yang telah disampaikan olehnya. Kedua problem prilaku, kita bisa melihat kendala ini dari gejala dan karakteristik yang dimiliki oleh siswa yang mengalami keterlambatan dalam berbicara. Ketiga problem keterapaian tujuan pembelajaran, guru bahasa Indonesia belum bisa memenuhi target yang sudah tertera dalam standart kompetensi dan kompetensi dasar.

Untuk dapat menjawab pertanyaan  bagaimana problematika Sastra anak bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus yang mengalami keterlambatan dalam berbicara. Maka terlebih dahulu kita harus mengetahui bagaimana pengajaran sastra pada umumnya terutama pengajaran sastra pada pendidikan dasar di Indonesia pada saat ini yang kurang menggembirakan. Apalagi ketika penulis melihat kondisi langsung di sekolah-sekolah dasar yang serba kekurangan yang ditemukan pada saat terjun langsung pada program kampus mengajar yang kebetulan ditempatkan membimbing adik-adik mahasiswa peserta kampus mengajar baik yang ditempakan di daerah pinggiran apalagi daerah 3T dimana masih kekurangan buku-buku baik buku sumber maupun buku-buku  cerita. Sehingga seperti  yang telah kita ketahui  pengajaran sastra di sekolah dasar di Indonesia sangat memprihatinkan. Anak-anak di SD sangat miskin akan cerita, baik cerita berbentuk buku maupun yang dilisankan. Ditambah pula dengan jarangnya guru mengajarkan sastra. Hal ini dimungkinkan karena guru merasa kesulitan dalam memilih bentuk dan jenis cerita sastra yang cocok untuk siswanya. Sehingga untuk mengenalkan sastra pada anak terlebih dahulu kita sebagai seorang guru harus mampu memenuhi karya sastra anak yang tepat untuk dibaca oleh anak. Seperti yang telah kita ketahui bahwa bacaan sastra untuk anak-anak adalah bentuk karya sastra yang disusun untuk konsumsi anak. Bacaan sastra untuk anak dapat berupa puisi ataupun fiksi dengan kategori yang sangat luas : cerita fantasi, sejarah dan biografi, fiksi ilmiah, dan sebagainya. Dalam sastra anak muncul beragam/variasi tema yang sesuai denga dunia mereka. Sehingga bacaan cerita anak harus memenuhi syarat yaitu memenuhi ciri-ciri bacaan cerita anak-anak seperti berikut ini:

Pertama, dari bentuk penyajian bacaan sastra untuk anak-anak dari segi bentuk penyajian memiliki ciri tertentu dibandingkan dengan bentuk penyajian bacaan sastra untuk orang dewasa. Bentuk penyajian sastra anak-anak memperhatikan format buku, bentuk huruf, variasi warna kertas, ukuran huruf, dan kekayaan gambar, sebaiknya disesuaikan dengan dunia anak-anak sehingga memberikan efek khusus dari kesan visual dari bentuk yang memadai seluruh buku itu. Ilustrasi gambar sampul sebaiknya mewakili tema yang digarap dalam buku itu dan harus disesuaikan dengan khalayak penikmatnya (siswa SD). Bentuk buku yang diperuntukkan bagi anak-anak sebaiknya dipilihkan bentuk persegi panjang yang horizontal dengan ukuran disesuaikan, misalnya kelas awal dan menengah digunakan ukuran 20,5 x 28 cm, sedangkan untuk kelas tinggi 20,5 x 23 cm. Penjilidan juga turut menentukan minat anak, sebaiknya buku dijilid tebal sehingga tidak mudah rusak, dan divariasikan dengan warna yang variatif yang memberikan efek visual yang menarik. Serta pengayaan hendaknya memudahkan anak memahami cerita dan membuat mereka lebih tertarik. Bahasa yang Digunakan mempertimbangkan perkembangan bahasa anak usia SD baik dari segi penguasaan struktur tata bahasa maupun dari segi kemampuan anak dalam memproduksi dan memahaminya. Pembelajaran sastra pada anak yang mengalami keterlabatan berbicara selain memperhatikan bentuk  penyajian sastra anak-anak,  memperhatikan format buku, bentuk huruf, variasi warna kertas, ukuran huruf, dan kekayaan gambar, juga sebaiknya disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak dan tingkat kesulitan anak terutama tingkat keterlambatan berbicaranya,  sehingga memberikan efek khusus dari kesan visual dari bentuk yang memadai seluruh buku itu. Contohnya kelancaran untuk format buku, bagi anak yang mengalami tingkatan bicara nya sulit kita buat format bukunya berupa pengenalan huruf dengan bentuk huruf yang lebih jelas (Big Book), variasi warna kertas yang bagus sehingga terlihat jelas, ukuran huruf lebih besar dan gambar gambar yang menarik sehingga memotivasi anak untuk mampu melafalkan dan  mengucapkan  dengan benar sesuai bunyi yang diharapkan dari huruf-huruf tersebut.

Kedua, dalam cerita untuk anak-anak yang mengalami keterlambatan berbicara  bahasa yang digunakan harus mempertimbangkan penggunaan kosakata dan kalimat. Ini dimungkinkan karena dalam proses pemahaman dan penikmatannya anak akan membaca teks melalui proses pemahaman print out (tulisan yang dapat dilihat dengan jelas) sehingga pada saat kita membacakan cerita itu dengan posisi bibir pada saat mengucapkan nampak jelas dan contoh bentuk barang yang diceritakannya ada (konkrit) sehingga cerita yang dibacakan terlihat dapat diarahkan dan anak-anak seolah-oleh mengalami sendiri, merasakan sendiri cerita itu    yang diarahkan oleh dunia pengalaman dan pengetahuannya. Agar makna bacaan cerita anak dapat dengan mudah difahami oleh mereka, maka kata-kata yang dipakai hendaknya sesuai dengan jenis kosakata yang semestinya dikuasai anak SD dengan mengacu pada kenyataan kongkret yang diasumsikan dekat dan akrab dengan kehidupan anak. 

Ketiga dalam cerita  anak  harus memperhatikan cara penuturan.  Untuk anak-anak yang mengalami keterlambatan berbicara cara penuturan harus jelas terdengar antara bunyi dan posisi bibir jelas terlihat sehingga anak dapat menirunya dengan baik. Selain itu dari segi cara penuturan, ciri bacaan cerita anak diarahkan pada teknik penuturan cerita yang merujuk pada pemilihan kata, penggunaan gaya bahasa, teknik penggambaran tokoh dan latar cerita yang mudah diterima dan dikenal anak.  Dalam teknik penuturan, pemilihan kata dan gaya bahasa hendaknya disesuaikan dengan readiness anak yaitu dengan menggunakan kata dan gaya bahasa yang kongkret sesuai dengan perkembangan kognitif mereka dan mengacu pada pengertian yang tersurat. Dalam teknik penuturan sebaiknya yang digunakan adalah teknik penyajian naratif yang banyak digunakan dalam cerita anak-anak. Meskipun demikian, di dalamnya masih tetap didukung oleh reportatif dan deskripsi berupa ilustrasi gambar.

Keempat  dalam Tokoh, penokohan, Latar, Plot, dan Tema bacaan cerita anak-anak menampilkan tokoh yang jumlahnya tidak terlalu banyak (tidak melebihi 6 pelaku). Ini dimaksudkan agar tidak membingungkan anak dalam memahami alur cerita yang tergambarkan lewat rentetan peristiwa yang ada. Penokohan atau karakterisasi tokoh dilakukan dengan tegas dan langsung menggambarkan wataknya dengan dilengkapi oleh penggambaran fisik dengan cara yang jelas. Latar cerita anak hendaknya menggambarkan tempat-tempat tertentu yang menarik minat mereka. Dalam jenis cerita lain tempat hendaknya disesuaikan kedekatannya dengan kehidupan anak misalnya, lingkungan rumah, sekolah, tempat bermain, kebun binatang, dan lain-lain. Latar cerita yang digunakan harus mampu mengaktualisasikan dan menghidupkan cerita. Dari segi alur atau plot, bacaan cerita anak-anak mengandung plot yang bersifat linier dan berpusat pada satu cerita sehingga tidak membingungkan anak. Dalam tema bacaan cerita anak biasanya sesuai dengan minat mereka misalnya tentang keluarga, berteman, cerita misteri, petualangan, fantasi, cerita yang lucu- lucu, tentang binatang, cerita kepahlawanan, dan sebagainya. Point of view dalam cerita anak-anak dipilih penutur dan disesuaikan dengan karakteristik gambaran peristiwanya. Penutur tidak meng-aku-kan diri yang berperan sebagai pelaku karena akan menimbulkan kesan aneh. Jadi hendaknya penuturan langsung menggunakan penyebutan nama.

Untuk menjawab bagaimana untuk mengoptimalkan   sastra pada anak-anak yang berkebutuhan khusus yang mengalami keterlambatan berbicara terlebih dahulu kita harus dapat mengidentifikasi secara dini apa ciri-ciri anak yang mengalami hambatan berbicara dan bahasa ini. Karakteristik dari anak dengan gangguan bicara dan berbahasa yaitu:

1) Secara kognitif mereka dapat berada dalam rentang tingkat kemampuan kognisi yang tinggi hingga yang terbelakang.

2) Secara akademik, pada anak usia dini yang dituntut untuk dapat mengekspresikan hasil pikirannya secara verbal maka anak akan mengalami kesulitan.

3) Secara sosial emosional, biasanya anak akan memiliki masalah juga. Terutama berkaitan dengan konsep diri yang dimilikinya. Apabila lingkungan banyak yang mencemoohkan dirinya maka anak cenderung akan memiliki konsep diri yang negatif. Ketika anak mengalami kesulitan dalam menyampaikan isi pikirannya karena penggunaan artikulasi yang salah, menyebabkan orang lain tidak dapat memahaminya. Keadaan ini membuat anak merasa terisolasi oleh lingkungannya.

4) Tingkah lakunya seringkali tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Misalnya anak batita yang kesulitan bicara ketika keinginannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain maka batita tersebut akan berperilaku agresif dan tingkah laku ini tidak dapat diterima oleh lingkungannya. Dengan bertambahnya usia dari anak dengan gangguan bicara dan berbahasa ini apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat maka ia akan cenderung untuk menjadi lebih bermasalah dalam berperilaku. Apabila orang tua atau guru menemukan anak dengan gangguan bicara dan berbahasa maka mereka harus segera merujuk kepada

Setiap anak yang normal atau mengalami pertumbuhan yang wajar memperoleh sesuatu bahasa, yaitu bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama kehidupannya, kecuali ada gangguan pada anak tersebut (Marsis & Anisa, 2018:37). Oleh sebab itu, tahap bicara seorang anak yang normal dapat dilihat dari usia anak. Akan tetapi keterlambatan berbicara (speech delay) merupakan salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hasil penelitian, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Hidajati (2009) dengan hasil penelitian bahwa di RS Dr. Kariadi pada tahun 2007 diperoleh data sebanyak 22,9% anak mengalami gangguan berbicara dan bahasa serta 2,98% mengalami disfasia perkembangan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewanti, dkk. (2012) bahwa di Jakarta, keluhan utama terbesar pasien saat memeriksakan anaknya adalah gangguan berbicara sebesar 46,8%.  Sementara itu, di Surakarta terdapat 595 anak yang mengalami keterlambatan berbicara selama tahun 2016 (RSUD Moewardi, 2017). Pemaparan data-data tersebut menunjukkan tingkat gangguan keterlambatan berbicara (speech delay) pada anak di beberapa kota di Indonesia menunjukkan hasil yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Penggunaan teknik pengenalan sastra ini didasarkan pada pemilihan informan  yang dipilih guru terfokus pada satu orang anak melalui observasi dan wawancara. Informan itu sendiri adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong, 2000:97). Informan merupakan orang yang benar-benar mengetahui permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini terdapat satu informan yaitu A, seorang anak laki-laki berusia 7 tahun yang mengalami keterlambatan berbicara (speech delay). Sementara itu, teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik rekam dan teknik catat. Untuk membantu mengarahkan informasi pada fokus anak yang berkebutuhan khusus hendaknya  sebagai berikut: Untuk melatih  ketepatan ucapan dalam berbicara anak berlatih mengucapkan huruf, kata dan kalimat dengan bunyi yang sesuai karakter huruf/kata nya sehingga ank dapat membaca sendiri mengenai sastra tersebut. Karena pengalaman bersastra anak  akan diperoleh anak apabilal anak merasakan manfaat yang dikandung sebuah karya sastra lewat bacaar yang diperoeh dari unsur intrinsic di dalamnya yaitu (1) memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan bagi anak-anak, (2) mengembangkan imajinasi anak dan membantu mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, kehidupan, pengalaman atau gagasan dengan berbagai cara, (3) memberikan pengalaman baru yang seolah dirasakan dan dialaminya sendiri, (4) mengembangkan wawasan kehidupan anak menjadi perilaku kemanusiaan, (5) menyajikan dan memperkenalkan anak terhadap pengalaman universal dan (6) meneruskan warisan sastra.  Untuk mengenalkan sastra bagi anak yang berkebutuhan khusus memiliki tahapan yang berbeda dengan pengenalan sastra pada anak ummumnya  di bawah ini salah satu contoh  yang coba penulis telah lakukan untuk mengenalkan sastra pada anak berkebutuhan khusus speech delay itu sebagai berikut: Berdasarkan observasi yang sudah penulis lakukan terhadap dua orang  anak berkebutuhan khusus pada anak yang mengalami speech delay di mana dia seperti mempunyai dunianya sendiri. Sebelumnya mohon ijin tidak menyebutkan identitas tetapi dengan symbol sebut saja A. Contohnya pada ketepatan ucapan, artikulasi A cenderung kurang jelas. A  hanya bisa mengatakan 2-3 kata saja. Huruf konsonan yang kurang jelas ia ucapkan yaitu /c, d, g, j, k, n, q, s, t, w, y/, sedangkan huruf vokal yang sulit A bedakan dan kurang jelas pengucapannya adalah /e, i/, serta angka yang sulit dia ucapkan adalah 10.

Kata yang mengandung huruf dan akhiran selain huruf-huruf tersebut diucapkan cukup jelas oleh A.  Penempatan tekanan, nada, sandi, dan durasi yang sesuai
 pada saat berkomunikasi. A sulit untuk  fokus. Tingkat kefokusannya juga tidak bisa terlalu lama. Dia hanya fokus dengan hal-hal yang dia sukai. Butuh beberapa cara untuk  membuatnya fokus, salah satunya dengan cara tidak memberikan banyak kata dan memberikan pengarahan pelan-pelan agar dia fokus. Tekanan, nada, sandi dan durasi sudah sesuai, pasalnya A hanya bisa mengucapkan 3-4 kata dan pengucapannya sudah menggunakan tekanan, nada, sandi, dan durasi yang sesuai. Pilihan Kata (Diksi)
Pilihan kata yang dipilih A kurang  tepat dan jelas. Seperti pada saat dia ingin makan, dia meminta pada ibunya, “Bu makan”. A juga belum bisa bercerita atau menyampaikan kalimat yang panjang. Bukti lain ketika kami temukan ketika seharusnya dia mengucapkan “Tangis” dia hanya bisa melafalkan “Angis”, itu membuktikan juga dalam memproduksi kata saja belum baik, yang nantinya mempengaruhi pemilihan diksi dalam berbicara.

Temuan kebahasaan tentang A yaitu ketika ditanya, “Bagaimana tadi di sekolah?”, dia hanya diam karena belum dapat menyampaikan atau menceritakannya. A lebih banyak diajak untuk berinteraksi dibandingkan dia yang memulai untuk berinteraksi. Ketepatan Sasaran Pembicaraan ketika A ada pada keadaan yang fokus, maka ia dapat pembicaraan. Ia mengucapkan apa yang ia ingin katakan tetapi tidak menggunakan kalimat yang panjang karena ia belum dapat menyampaikannya dengan kalimat lebih dari dua kata.
Beberapa hal yang menyebabkan
 anak ini mengalami speech delay 1) ketika masih kecil, anak pernah jatuh beberapa kali yang menyebabkan perkembangan motorik melambat, 2) pada umur 1 tahun kepalanya pernah terbentur benda keras hingga bengkak, 3) kurangnya stimulus dari orang tua ketika masa perkembangan pemerolehan bahasa yang menyebabkan pemerolehan bahasa anak menjadi sangat kurang, 4) kurangnya dukungan perkembangan dalam berkomunikasi di lingkungan sekitarnya yang memperkecil dorongan untuk menambah kosakata anak karena anak tersebut jarang berkomunikasi bermain dengan teman seusianya 5) keadaan psikis orangtua terutama ibu ketika hamil dan keadaan setelah melahirkan amat sangat memengaruhi perkembangan bahasa anak, tingkat daya stres yang rendah pada psikis orangtua dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan anak.

Akibat dari keterlambatan berbicara yang dialami seorang anak dapat menyebabkan terjadi keterlambatan perkembangan baik dari segi motorik maupun sensoriknya, selain itu mempengaruhi buruknya si anak ketika berkomunikasi dengan lingkunganya, pengaruh lain akibat keterlambatan berbicara dapat memengaruhi tingkat kecerdasan anak.

Berdasarkan faktor penyebab terjadinya speech delay pada A.

A dapat diambil alternatif sebagai berikut. 1) saraf pada anak usia dini sangat rawan jika terkena benturan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga perlu penjagaan agar segala keadaan anak ketika kecil terjaga, 2) pemberian stimulan dari orang terdekat sangat mempengaruhi terhadap perkembangan anak baik untuk motorik, kognitif maupun perkembangan kepribadian anak, 3) melatih anak sejak dini untuk berkomunikasi sebagai pengenalan agar tidak mengalami keterlambatan dalam berbicara, 4) menjaga psikis terutama bagi ibu hamil untuk menghambat terjadinya pengaruh terhadap bayi di dalamnya, 5) selalu memberikan dukungan pada anak baik moral maupun nonmoral, 6) mengutamakan perkembangan anak sejak dini, 7) jika speech delay sudah memasuki tingkatan yang sudah parah maka perlu penanganan khusus seperti terapi wicara, 8) melibatkan anak dalam berbicara dan membenarkan ketika anak salah dalam mengucapkan, 9) dapat dipergunakan media penunjang untuk menambah kosakata yang dimiliki anak bisa dalam bentuk visual maupun audio visual.

Dari paparan di atas ada beberapa prinsip pembelajaran sastra anak di sekolah agar berjalan dengan baik. Walaupun masih terdapat beberapa permasalahan sebagaimana diidentifikasi di atas. Untuk itu, perlu diberikan solusi untuk lebih mengoptimalkan kualitas hasil pembelajaran sastra anak. Berikut beberapa saran pemikiran (Herman: 2012) untuk lebih mengoptimalkan pembelajaran sastra anak di sekolah, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi pembelajaran.

1. Pemilihan materi pembelajaran harus relevan dengan kebutuhan anak. Materi-materi pembelajaran seperti puisi-puisi anak, cerita anak, drama anak satu babak, dancerita-cerita rakyat sangat tepat dijadikan materi pembelajaran karena di dalamnya lebih banyakberhubungan dengan dunia anak.

2. Pemilihan karya sastra yang dijadikan bahan pembelajaran perlu diperhatikan.  Dalam rangka membentuk karakter anak, guru harus lebih selektif dalam menentukan bahan puisi, cerita, atau drama untuk anak. Guru harus membaca terlebih dahulu isi puisi, cerita, atau drama yang akan diajarkan. Isinya harus sarat dengan nilai-nilai pendidikan karakter peserta didik. Dengan demikian, mereka dapa


Berlangganan di Blog CLS IKIP Siliwangi
Arsip
  • July 2022 (1)
  • April 2022 (1)
  • March 2022 (3)
  • February 2022 (1)
  • January 2022 (44)
  • December 2021 (1)
  • August 2021 (68)
  • July 2021 (140)